Penampilannya simple namun rapi: baju selalu dimasukkan, berpadu dengan celana panjang. Sesekali berbahan denim. Sepatu kulit kasual selalu menghias penampilannya. Dialah wakil wali kota Batam, Amsakar Achmad.
Selain sederhana, Amsakar juga supel. Ada kalanya dialah yang duluan menyapa orang yang dikenalnya.
“Hey dinda…” demikian sapanya.
Biasanya usai menyapa, Amsakar langsung mengajak jabat tangan, dilanjut saling menempelkan dahi. Ini semacam versi lain dari salam semut. Sangat akrab.
Adapun pertemuan saya dengan orang nomor dua di Pemko Batam ini terjadi 2 Maret 2017 lalu. Sudah lama sekali. Saat itu saya memang sedang audisi di ruangannya, terkait peluncuran program Pustaka Emas Batam Pos yang saya gagas untuk memerangi hoax.
Untuk memerangi penyakit tersebut, maka masyarakat harus dididik memahami literasi. Caranya mengonsumsi media yang benar, dalam hal ini koran.
“Pustaka Emas ini akan membagikan koran gratis pada seribu perpustakaan-perpustakaan sekolah yang kurang mampu di serata provinsi Kepri, khususnya Batam. Lebih dikhususkn lagi pada sekolah2 di hinterland,” jelas saya pada Amsakar saat itu.
Mengapa harus koran? Karena hanya koranlah yang memiliki pengawasan bertingkat sebelum berita itu diedarkan.
Saya tak merasa kesulitan berbicara tentang literasi ini pada ayah tiga putri yang lahir di Sungai Buluh, Singkep Barat, Lingga, Kepulauan Riau, 1 Agustus 1968 lalu itu. Sebab, lelaki ini sangat akrab dengan budaya membaca.
Bagi mantan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Batam ini, buku selalu lekat dengan kesehariannya. Bahkan di samping meja kerjanya ada lemari kaca ukuran 2 x 2 meter yang menyimpan beberapa buku koleksi pribadinya.
Saya pun mohon izin untuk melihat-lihat buku-buku itu. Yang masih saya ingat, di antara koleksi lelaki yang tahun ini genap berumur 50 tahun tersebut, ada buku “Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi Mohammad Hatta (cetakan lama).
Buku ini adalah memoar yang mengharukan sekaligus menginspirasi tentang perjalanan hidup dan perjuangan seorang Proklamator Kemerdekaan Mohammad Hatta, yang juga tenar disebut Gandhi van Java.
Buku yang ditulis menjelang wafatnya pada 1980 itu, mengisahkan Bung Hatta sejak masa kanak-kanak hingga ke periode puncak kematangan pemikiran dan kegiatan politiknya.
Setelah baca-baca sebentar, saya kemudian duduk di kursi tamu yang berada di depan meja kerja “pak Wawa”, sambil berbincang tentang buku-buku yang menjadi minat Ketua DPD Partai Nasdem Kota Batam tersebut.
Saat itulah perbincangan kami mengarah pada sebuah buku bertajuk “Sejarah Tuhan” (History of God) karya Karen Armstrong. “Bagus sekali buku itu,” puji suami Erlita Sari ini.
Karena kecintaannya pada buku, wajarlah bila alumni Universitas Riau dan Universitas Airlangga ini berwawasan luas. Tentu ini menjadi nilai tersendiri bagi Amsakar.
Sebab bagi seorang pejabat publik, wawasan itu penting dalam diplomasi dan citra diri. Komunikasi pun bisa lebih berkembang, kata pun lebih beragam.
Mereka akan piawai berkisah tentang bunga-bunga yang gemulai dihembus angin. Atau tentang deru hujan yang malu pada mentari ketika pelangi mengintip dari kejauhan.
Alangkah kaku dan menyedihkan bila pejabat publik hanya bisa bicara soal perda perda perda, kerja kerja kerja, saja saat bertemu orang lain. Sungguh membosankan.
Karena suka membaca ini jua, membuat Amsakar selalu berbicara berbasis data. Tak buru-buru menelan informasi, sebelum divalidasi dan diverifikasi.
Hal ini tampak saat di forum-forum resmi, Amsakar menjelma menjadi macan data. Hal ini tampak saat dia menjabarkan tentang fungsi pembagian wilayah kerja antara Pemko dan BP Batam.
Kecintaan membaca ini jualah yang membuat Amsakar akrab dengan dunia sastra. Bahkan acap kali naik panggung membaca puisi yang dia tulis sendiri.
Bahkan pernah sepanggung dengan penyair nasional asal Tanah Melayu Kepri, H Rida K Liamsi. Puisi yang dia tulis yang dibaca tersebut berjudul “Mak” dan “Adaku di KunMu”.
Kualitas suara Amsakar ini sangat bagus. Tekstur vokalnya seolah menggambarkan anak muda sekitar 20 tahunan. Kalau bicara volumenya terkontrol, artikulasinya jelas.
Dia juga piawai dalam memainkan variasi nada, dan saat berbicara tak terlalu cepat atau pelan. Sehingga mudah dipahami. ***
(muhammad riza fahlevi)