INSPIRASI PAGI: Stop Hiperbola Bencana
BEBERAPA waktu lalu, Komisi Penyiaran Daerah (KPID) Jawa Timur melarang media menyiarkan informasi bencana alam secara berlebihan. Sebab bisa berdampak psikologi berkepanjangan, seperti takut berlebihan dan mengubah pola pikir. Tak hanya kepada korban, juga khalayak ramai.
Namun di era media sosial seperti saat ini, sangat sulit mengontrol. Sebab, siapa saja kini bisa bikin konten (video), meski tak punya kompetensi khusus. Selain akibat “virus” fear of missing out, rating, view, klik, dan share, menjadi sebuah panglima dalam liputannya.
Entah disengaja atau tidak, oknum pembuat konten ini bermain majas hiperbola (membesar-besarkan sesuatu agar tampak seperti dramatis), dan teknik kamera. Dampak bencana baik manusia dan bangunan, ia jadikan komoditas dengan sudut pandang “bad news is good news”.
Semakin dramatis dampak yang diderita korban, semakin pedih tangisan, dan semakin banyak kerusakan, maka akan semakin tinggi rating dan klik yang diraup.
Contoh saat makara (tiang kecil yang ada di ujung kubah) Masjid Agung Raja Hamidah Kota Batam, bengkok akibat hantaman angin super kencang pada Selasa (17/9/2024) sekitar pukul 18.30 lalu. Banyak kabar yang beredar sangat sensasional dan hiperbolis.
Ada yang menyebut, “kubah Masjid Agung tumbang”, “atap Masjid Agung roboh”, “masjid ambruk”, bahkan ada yang dengan sengaja menyebar gambar dengan angle tertentu, agar Masjid Agung tampak miring dan ambruk. Padahal, sekali lagi, hanya makaranya saja yang bengkok.
Bencana memang mempunyai nilai berita yang cukup tinggi dikarenakan sulitnya prediksi waktu akan terjadi. Namun, tak boleh mengaburkan sisi informatif, objektivitas dan fakta di lapangan. Jika tak bisa membantu korban, minimal jangan bikin gaduh.
Bagaimana menurut Anda? (ski)