Pada tahun 1817 telah ditemui penduduk etis China di kawasan Sei Panas. Etnis China juga banyak yang bermukim di kawasan lain di kepulauan Batam seperti Duriangkang, Mukakuning, dan Tanjunguncang, Waheng, dan sebagainya.
Sementara itu pada 1820 kawasan Teluk Lengong telah dihun penduduk Melayu yang dipimpin Wak Gendut.
Di masa Kerajaan Lingga-Riau atau Riau-Lingga (1819-1913) telah terjadi perpindahan besar-besaran orang Melayu ke Batam dan di antara mereka membuka perkampungan yang kelak dikenal sebagai Nongsa, Tanjunguma, Tanjungpantun, Tanjungriau, Tanjungsengkuang, Telagapunggur, Tanjungbemban, Kampung Belian, Kampung Bagan Labuan Gurap, dan sebagainya.
Yang berpindah dan membuka perkampungan di Batam tersebut umumnya kaum kerabat kerajaan. Selain sebagai nelayan, mereka juga menanam gambir dan lada (hitam). Seiring itu, orang China juga banyak yang datang ke Batam serta bekerja di ladang-ladang gambir dan lada.
Ada juga yang berkebun karet dan durian. Kemudian banyak yang berdagang serta membuka usaha pelayaran.
Pada 1839, wilayah Sekupang sudah didiami penduduk berasal dari Pulau Sumatera. Sedangkan pendatang dari Siak yang dipimpin Cik Awang, semasa pemerintahan Sultan Abdul Rahman Muazam Syah II, merintis sebuah kawasan yang kelak bernama Kabil.
Pada masa itu, penduduk Batam bebas masuk ke Singapura yang sedang tumbuh pesat sebagai pelabuhan internasional semenjak diba
ngun Raffles pada 1819.
Pada masa yang sama, di Batam juga banyak tumbuh pelabuhan. Pelabuhan yang paling terkenal di Batam masa itu ada di Bulang dan Nongsa.
Para kerabat Kerajaan Lingga yang akan bepergian ke Singapura, selalu bermalam terlebih dahulu di Nongsa, termasuk bagi yang akan menunaikan ibadah haji melalui Singapura.
Arus perdagangan antara Singapura dan Kerajaan Riau-Lingga selalu melalui pelabuhan Nongsa dan Bulang serta pelabuhan lain di kawasan Batam. Bahkan, sebagaimana ditulis Horsburg pada 1843, para pedagang dari Amerika pun selalu singgah di Batam.
(Bersambung)
Disadur dari buku “Sejarah Melayu”
Karya: Ahmad Dahlan, PhD